Tuesday, June 21, 2011

Hindari Gapol ( Gagap Politik)

Sebeanrnya ini Tulisan Lama, yang disampaikan di Kajian mingguan ISLAH ( Ikatan Silaturahmi Alumni Husnul Khatimah) di Zaqaziq, Egpyt.

Muqaddimah

Zaman-zaman telah berlalu melewati manusia-manusia yang heterogen. Perubahan pola hidup, pola fikir pun berangsur mengalami pergeseran. Ada yang bergeser lebih maju, ada pula yang bergeser lebih mundur. Kondisi alam pun telah berganti warna langitnya. Sehingga ada yang berkata: “ Alam sudah tidak bersahabat lagi dengan manusia”. Kemudian fenomena ini akan memperlihatkan beberapa jenis manusia yang ada saat itu. Akan kita temui jenis manusia pertama adalah manusia yang serakah serta pongah dan punya kekuatan akan menindas manusia lainya, membuat kerusakan, menebar kebencian. Mereka tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki, sehingga merebut milik orang lain. Mereka jauh dari nilai-nilai agama, nilai-nilai kemanusiaan, dan nilai-nilai keadilan. Terkadang mereka menjebak lawannya dengan topeng kebaikan. Mereka sebenarnya tahu mana yang benar, tapi mereka tak perduli. Karena mereka terus melakukan apa saja untuk memenuhi rasa kepuasan nafsu yang sebenarnya tak pernah habis, sehingga mata rantai keburukan ini tidak pernah putus dari kehidupan mereka. Kecuali dengan hidayah Allah.





Kemudian, manusia jenis kedua yang akan didapati adalah manusia yang tahu akan tugasnya di dunia ini. Mereka adalah golongan oposisi bagi sifat-sifat kejelekan yang ada pada manusia jenis awal tadi. Berangkat dari keyakinan dan kepercayaanya pada Hakikat Penciptaan mereka rela berjuang sampai mengalirkan peluh dan darah. Sayangnya, mereka saat ini sedang mengidap berbagai penyakit,diantaranya penyakit perpecahan, penyakit kebodohan, penyakit Hubbuddunya wal Wahm. Jika kita cermati, faktor eksternal penyebab penyakit ini tidaklah begitu kuat pengaruhnya. Akan tetapi faktor internalah yang kuat mendominasi. Maka banyak kemungkinan untuk bangkit. Sehingga ada seorang ulama mengatakan tentang keadaan mereka saat ini ;”khusuufun la ghurub” matahari kita sedang gerhana bukan terbenam. Dan walaupun mereka sedang sakit, mereka tidak akan pernah tunduk kepada yang namanya kedzaliman. Sebenarnya ini adalah gambaran tentang “pertarungan” yang tak akan pernah habis sampai akhir kiamat.

Satu hal yang ingin diangkat adalah tentang hubungan interaksi antara jenis manusia pertama dengan jenis manusia kedua. Adalah hubungan mereka dalam kenegaraan yang sangat menarik untuk dibahas, diantara interaksi-interaksi kehidupan yang lainnya. Yaitu politik. Yang carut marutnya, membuat enggan beberapa orang berkecimpung didalamnya, atau bahkan antipati terhadapnya. Jika keengganan berasal dari ketidakmengertian, maka belajarlah. Jika antipati karena hal yang tidak pasti, jiwa mahasiswa anda akan mati.
Arti Politik

Secara lebih jelasnya inilah arti politik, politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Arti lain juga tentang politik, politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Konstitusional adalah dari akar kata konstitusi atau Undang-Undang Dasar, dengan demikian merujuk pada semua langkah politik yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di suatu negara.

Dalam konteks memahami politik ada beberapa kunci yang perlu dipahami diantaranya ; kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik. Dan saya mencoba mengartikan beberapa bagian dari kunci-kunci itu. Arti kekuasaan politik adalah kemampuan untuk membuat masyarakat dan negara membuat keputusan yang tanpa kehadiran kekuasaan tersebut tidak akan dibuat oleh mereka. Kemudian arti Legitimasi dalam ilmu politik, legitimasi diartikan seberapa jauh masyarakat mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan atau kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin. Dalam konteks legitimasi, maka hubungan antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin lebih ditentukan adalah keputusan masyarakat untuk menerima atau menolak kebijakan yang diambil oleh sang pemimpin. Selanjutnya arti partisipasi politik adalah Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Dan terakhir arti partai Politik : Sebuah partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik - (biasanya) dengan cara konstitusionil - untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.

Satu hal lagi yang penting adalah teori politik. Arti teori politik sendiri ialah merupakan kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam Teori Politik antara lain adalah filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat, kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, perbandingan politik, dsb. Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara negara di dunia antara lain: anarkisme,autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme, feminisme, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, kapitalisme, komunisme, liberalisme, libertarianisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki dsb. Dan kita semua sadar indonesia memakai sistem Demokrasi dalam pemerintahanya.

Demokrasi dan sikap kita

Demokrasi sendiri mempunyai artian sebagai berikut, Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Sedang dalam ilmu sosiologi, demokrasi adalah sikap hidup yang berpijak pada sikap egaliter (mengakui persamaan derajat) dan kebebasan berpikir. Meski demokrasi merupakan kata kuno, namun demokrasi modern merupakan istilah yang mengacu pada eksperimen orang-orang Barat dalam bernegara sebelum abad XX.
Orang-orang islam mengenal istilah demokrasi sejak zaman transliterasi buku-buku yunani di masa kepemimpinan Abbasiyah, yang kemudian menjadi pembahasan khusus oleh ilmuwan di masa pertengahan, seperti Ibnu rusd dan ibnu sina ketika membahas karya-karya aristoteles. Istilah demokrasi dalam sejarah Islam tetaplah asing, karena sistem demokrasi tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin sejak awal. Orang-orang Islam hanya mengenal kebebasan (al hurriyah) yang merupakan pilar utama demokrasi yang diwarisi semenjak jaman Nabi Muhammad (Saw.), termasuk di dalamnya kebebasan memilih pemimpin, mengelola negara secara bersama-sama (syuro), kebebasan mengkritik penguasa, kebebasan berpendapat.Sikap bebas dan demokratis merupakan ciri kehidupan yang hilang dari tengan-tengah sebagian besar ummat Islam pada saat ini, baik dalam bermasyarakat maupun bernegara.

Bolehkah kita (para dai)ikut berdemokrasi? Yang dengan arti lain, bolehkah kita ikut berpolitik? Sebab mengapa pertanyaan ini muncul, karena ada semacam dilema ketika mendengar kata Politik ini. Politik itu kotor dan realita memang membuktikan akan hal itu. Sebab lain adalah ideologi Demokrasi yang tak sesuai dengan ideologi islam dalam hal pemegang kedaulatan. Anis mata berkata dalam analisanya bahwa Konsep demokrasi sekuler memberikan kedaulatan kepada rakyat. Mereka mengatakan, kedaulatan itu ada di tangan rakyat karena suara rakyat adalah suara tuhan. Sementara dalam konsep Islam, kedaulatan sepenuhnya ditangan tuhan dan suara tuhan harus menjadi suara rakyat. Implementasinya, hukum dan demokrasi sekuler merupakan nota kesepekatan bersama yang diproduk melalui konstitusi, sementara dalam Islam hukum itu given dan adalah tugas konstitusi untuk merealisasikannya.Dan Jika kita melihat implementasi kedaulatan di tangan tuhan yakni hukum itu pemberian dari Allah adalah tugas konstitusi untuk merealisasikannya, maka jawaban pertanyaan di atas adalah harus. Karena ini adalah cara untuk menanamkan nilai-nilai syari’at dalam kehidupan bermasyarakat.

Kemudian Anis Matta melanjutkan perkataanya, perbedaan itu sangat mendasar. Tapi, titik temu keduanya juga sangat mendasar. Yaitu, pada konsep partisipasi. Konsep ini memberikan posisi yang kuat kepada masyarakat terhadap negara dan mengunggulkan akal kolektif atas akal individu. Pemberdayaan masyarakat terhadap Negara berbasis pada nilai-nilai kebebasan dan hak-hak asasi manusia, sedang keunggulan akal kolektif berbasis pada upaya mengubah keragaman menjadi sumber kekuatan, kreativitas, dan produktivitas. Karena itu, demokrasi mempunyai implikasi yang kuat terhadap proses pemberdayaan masyarakat. Titik temu inilah yang kemudian mendasari sikap kita terhadap demokrasi. Bahwa, seperti kata Imam Syahid Hasan Al-Banna dalam majmu’at Al-Rasail, walaupun demokrasi bukan system Islam, tapi inilah sistem politik modern yang lebih dekat dengan Islam.

Kemudian beliau melanjutkan Secara hitoris kemudian kita lihat bahwa penjajahan Eropa atas dunia Islam, munculnya penguasa-penguasa Tiran, dan pemerintahan militer represif setelah kemerdekaan, telah mematikan potensi ummat secara keseluruhan. Dan, negera-negera imperealis barat secara sistematis membentuk dan mempertahankan pemerintahan militer di Negara-negara Islam untuk tujuan tersebut. Maka, diatas wilayah geografi yang sangat luas, sumber daya alam yang sangat kaya, dan sumber daya manusia yang sangat banyak, kaum muslimin menjadi masyarakat yang paling miskin, paling bodoh, dan paling terbelakang di dunia.

Dan terakhir beliau mengatakan dalam kesimpulanya, Berangkat dari titik temu pada konsep partisipasi antara Islam dengan demokrasi dan persoalan historis dari potensi umat yang tidak terberdayakan, kita kemudian berkesimpulan seperti ini; demokrasi adalah pintu masuk bagi dakwah untuk memberdayakan ummat, kemudian melibatkannya dalam mengelola Negara sendiri, lalu pada akhirnya memberinya mandat untuk memimpin kembali dirinya sendiri.

Agar lebih mengerti jawaban keharusan Da’i maju ke panggung politik, kita cermati artikelnya saudara Ahmad Fuad Rahman (Koordinator Kajian Strategis UIN Malang) :
Dalam prespektif Islam, politik merupakan subsistem Islam, dalam konteks proposal pembangunan peradaban baru islam, dakwah harus mempunyai power dan dukungan kekuasaan untuk merealisasikan Islam dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Tapi, teori perubahan kita menempatkan dukungan kekuasaan itu setelah kita menyelesaikan-secara relative-proses rekontruksi social budaya dalam tiga level; pertama, rekontruksi pemikiran dan wawasan keislaman; kedua, penggudangan stok kepemimpinan ummat melalui tarbiyah dan kaderisasi; ketiga, mobilisasi massa untuk melalui gerakan penetrasi social yang menyeluruh, khususnya melalui pembentukan kelas menengah baru kaum muslimin.
Itulah sebabnya kita menganggap debat dialektis antara “Islam budaya” dan “Islam Politik” yang marak sepanjang decade 80an dan 90an, dalam prespektif ini- sebagai debat kontra-produktif dalam proses pembangunan umat. Debat ini bukan hanya tidak punya akar kebenaran dalam referensi Islam, tapi juga banyak dipengaruhi warisan psiko-politik Islam yang tidak menguntungkan posisi generasi baru Islam angkatan 60an serta pedekatan sekuriti yang represif dari Orde Baru terhadap Umat Islam. Dengan begitu, arus Islam budaya dan Islam politik merupakan dua cara bereaksi terhadap situasi social politik sesaat yang cenderung reaktif dan sporadic serta tidak dibangun dari pemikiran strategis dalam kerangka pembangunan ummat.Proyek peradaban Islam mengharuskan kita untuk memandang belahan-belahan budaya dan politik secara holistic. Dimana keduanya diintegrasikan dalam suatu gerakan social budaya yang berorientasi melakukan mobilisasi horizontal dengan gerakan politik praktis yang melakukan mobilisasi vertical. Gerakan social budaya atau mobilisasi horizontal itu bertujuan untuk mengkondisikan umat secara spiritual, intelektual, emosional, dan fisik untuk melaksanakan Islam dalam kehidupan mereka secara menyeluruh.

Sementara, gerakan politik praktis itu bertujuan menyambut arus tuntutan umat itu secara legal konstitusional. Atau dengan kata lain, disini kita melakukan semacam akomodasi konstitusional terhadap arus social budaya yang sudah merata di masyarakat. Itulah sebabnya tema-tema dakwah kita- khususnya di kampus pada decade 80an dan paruh pertama 90an cenderung ideologis-normatif,indoktrinatif, berorientasi pada model social Rasulullaw saw., rigid dalam merujuk kepada al-qur’an dan sunnah, berfokus pada pembentukan generasi Islam, dan terkesan apolitik. Karena yang sedang kita lakukan saat itu adalah membangun ulang identitas social budaya kita. Dan, ketika arus demokratisasi global melanda negeri kita dan peluang-peluang politik mulai terbuka, sementara usaha-usaha rekontruksi social budaya sudah relative memadai, kita melakukan ekspansi pada tema dan wilayah dakwah: merambah wilayah politik dalam alam demokrasi. Karena tulang punggung ummat ini relativ sudah kuat dan identitas social budaya kita relative sudah jelas, maka kita memutuskan untuk masuk ke gelanggang percaturan politik.

Dukungan para Ulama

Di antara para ulama yang memberikan pendapatnya tentang kebolehan atau keharusan dakwah lewat parlemen antara lain:
1. Imam Al-'Izz Ibnu Abdis Salam
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
3. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
4. Muhammad Rasyid Ridha
5. Syeikh Abdurrahman Bin Nashir As-Sa'di: Ulama Qasim
6. Syeikh Ahmad Muhammad Syakir: Muhaddis Lembah Nil
7. Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi
8. Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
9. Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin
10. Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-AlBani
11. Syeikh Dr. Shalih bin Fauzan
12. Syeikh Abdullah bin Qu'ud
13. Syeikh Dr. Umar Sulaiman Al-'Asyqar
14. Syeikh Abdurrahman bin Abdul Khaliq
Mari kita simak beberapa pendapat para ulama-ulama terkenal itu. Kita perhatikan Syaikh ‘Utsaimin berpendapat dalam wawancaranya di majalah alfurqon (majalah di Kuwait): Majalah Al-Furqan: Apa hukum masuk ke dalam parlemen? Syaikh Al-'Utsaimin: Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat baik mencegah kejahatan atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan semakin jauh dari bala'. Sedangkan masalah sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia bersumpah untuk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya di mana setiap orang akan mendapat sesuai yang diniatkannya. Namun tindakan meninggalkan majelis ini buat orang-orang bodoh, fasik dan sekuler adalah perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan masalah. Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini, pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya. Namun keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah SWT menjadikan kebaikan yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali memang benar-benar mengusai masalah, memahami kondisi masyarakat, hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak. (lihat majalah Al-Furqan - Kuwait hal. 18-19).

Yah, beliau sangat memahami bahwa kemaslahatan untuk umatlah yang dikedepankan. Tidak bisa dipungkiri lagi keharusan dakwah di dalam politik, bahkan beliau menyebutkan ghalath (rancu) bagi mereka yang meninggalkan Majlis itu (pemerintahan) untuk orang-orang bodoh, fasiq, dan sekuler.

Penutup

Seharusnya kita mahasiswa Azhar yang ter kenal dengan prinsip mu’tadilnya dalam memahami ajaran islam lebih peka akan permasalahan ini. Berpandangan integral dan tidak parsial dalam memahami islam adalah khas Ulama-ulama kita. Pembatasan-pembatasan bahwa ulama tempatnya di mimbar saja adalah statement yang perlu dikaji ulang. Pernyataan itu adalah keinginan manusia jenis pertama untuk melegitimasi keserakahanya dan membiarkan umat Islam (manusia Jenis kedua) terus miskin dan tertidur lelap.
Seharusnya kita tanggap tentang politik ini, karena maslahat umat besar tersimpan didalamnya. Hilangkan ketakutan-ketakutan terjebak dalam “arena politik” ini, karena sebenarnya itu kembali pada niat kita memasuki parlemen itu, yakin ngga kita. Dan satu hal penting, jangan berjuang sendirian. Wallahu’alam bishawab. Eh jangan lupa Pemilu 2009 Contreng yah, masa mau memajukan bangsa kok Golput. 

No comments:

Post a Comment